FILOSOFI KI HAJAR DEWANTARA
Asas Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara (KHD) membedakan kata
Pendidikan dan Pengajaran dalam memahami arti dan tujuan Pendidikan. Menurut
KHD, pengajaran (onderwijs) adalah bagian dari Pendidikan. Pengajaran
merupakan proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan
hidup anak secara lahir dan batin. Sedangkan
Pendidikan (opvoeding) memberi tuntunan terhadap segala kekuatan
kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota
masyarakat. Jadi menurut KHD (2009), “pendidikan dan pengajaran
merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup
manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang
seluas-luasnya”.
Pendidikan adalah tempat persemaian
benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. KHD memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan
manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama
untuk mencapainya. Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya
nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan.
Dasar-Dasar
Pendidikan
Ki Hadjar menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: "menuntun
segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai
anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh
atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat
memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan
kodrat anak”
Dalam menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak, KHD mengibaratkan peran
pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-anak itu seperti biji
tumbuhan yang disemai dan ditanam oleh pak tani atau pak tukang kebun di lahan
yang telah disediakan. Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang ditanam.
Bila biji jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan sinar
matahari dan pengairan yang baik maka meskipun biji jagung adalah bibit jagung
yang kurang baik (kurang berkualitas) dapat tumbuh dengan baik karena perhatian
dan perawatan dari pak tani. Demikian sebaliknya, meskipun biji
jagung itu disemai adalah bibit berkualitas baik namun tumbuh di lahan yang
gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya matahari serta ‘tangan
dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh namun tidak akan optimal.
Dalam proses ‘menuntun’ anak diberi kebebasan namun pendidik sebagai
‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan
membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak
dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar.
KHD juga mengingatkan para pendidik untuk tetap terbuka namun tetap
waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, “waspadalah, carilah
barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita
dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru
tersebut dilaraskan lebih dahulu”. KHD menggunakan ‘barang-barang’ sebagai
simbol dari tersedianya hal-hal yang dapat kita tiru, namun selalu menjadi
pertimbangan bahwa Indonesia juga memiliki potensi-potensi kultural yang dapat
dijadikan sebagai sumber belajar.
Kodrat
Alam dan Kodrat Zaman
KHD menjelaskan bahwa dasar Pendidikan anak
berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam
berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana anak berada, sedangkan
kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”
KHD mengelaborasi Pendidikan terkait kodrat
alam dan kodrat zaman sebagai berikut
“Dalam melakukan pembaharuan yang
terpadu, hendaknya selalu diingat bahwa segala kepentingan anak-anak didik,
baik mengenai hidup diri pribadinya maupun hidup kemasyarakatannya, jangan
sampai meninggalkan segala kepentingan yang berhubungan dengan kodrat keadaan,
baik pada alam maupun zaman. Sementara itu, segala bentuk, isi dan wirama
(yakni cara mewujudkannya) hidup dan penghidupannya seperti demikian, hendaknya
selalu disesuaikan dengan dasar-dasar dan asas-asas hidup kebangsaan yang
bernilai dan tidak bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan” (Ki Hadjar
Dewantara, 2009, hal. 21)
KHD hendak mengingatkan pendidik bahwa
pendidikan anak sejatinya melihat kodrat diri anak dengan selalu berhubungan
dengan kodrat zaman. Bila melihat dari kodrat zaman saat ini, pendidikan global
menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki Keterampilan Abad 21 dengan
melihat kodrat anak Indonesia sesungguhnya. KHD mengingatkan juga bahwa
pengaruh dari luar tetap harus disaring dengan tetap mengutamakan kearifan
lokal budaya Indonesia. Oleh sebab itu, isi dan irama yang dimaksudkan oleh KHD
adalah muatan atau konten pengetahuan yang diadopsi sejatinya tidak
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. KHD menegaskan juga bahwa didiklah
anak-anak dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri.
Budi
Pekerti
Menurut KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan
antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan
tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta
(kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor). Sedih
merupakan perpaduan harmonis antara cipta dan karsa demikian pula Bahagia.
Lebih lanjut KHD menjelaskan, keluarga menjadi tempat yang utama dan
paling baik untuk melatih pendidikan sosial dan karakter baik bagi seorang
anak. Keluarga merupakan tempat bersemainya pendidikan yang sempurna bagi anak
untuk melatih kecerdasan budi-pekerti (pembentukan watak individual). Keluarga
juga menjadi ruang untuk mempersiapkan hidup anak dalam bermasyarakat dibanding
dengan pusat pendidikan lainnya.
Alam keluarga menjadi ruang bagi anak untuk mendapatkan teladan,
tuntunan, pengajaran dari orang tua. Keluarga juga dapat menjadi tempat untuk
berinteraksi sosial antara kakak dan adik sehingga kemandirian dapat tercipta karena
anak-anak saling belajar antar satu dengan yang lain dalam menyelesaikan
persoalan yang mereka hadapi. Oleh sebab itu, Peran orang tua sebagai guru,
penuntun dan pemberi teladan menjadi sangat penting dalam pertumbuhan karakter
baik anak.
1.
Arti dan Masksud Pendidikan Kata ‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali
dipakai Bersamasama. Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan
pengertiannya yang asli. Ketahuilah, pembaca yang terhormat, bahwa sebernarnya
yang dinamakan ‘pengajaran’ (onderwijs) itu merupakan salah satu bagian dari
Pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain adalah Pendidikan dengan cara
memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.
Sekarang saya akan menerangkan arti dan maksud Pendidikan (opvoeding) pada
umumnya. Dengan sengaja saya memakai keterangan ‘pada umumnya’, karena dalam
arti khususnya, Pendidikan mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan
bahwa tiap-tiap aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan
mempunyai maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya yang
berbeda-beda, cara mendidiknya juga tidak sama. Mengenai keadaan yang penting
ini, saya kan menerangkan secara lebih luas. Walaupun bermacam-macam maksud,
tujuan, cara, bentuk, syaratsyarat dan alat-alat dalam soal Pendidikan,
Pendidikan yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang beragam itu
memiliki dasar-dasar atau garis-garis yang sama. Menurut pengertian umum,
berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam beragam jenis Pendidikan itu,
Pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksud
Pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka
dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai
manusia maupun sebagai anggota masyarakat. 2. Hanya Tuntunan dalam Hidup
Pertama kali harus diingat, bahwa Pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di
dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak itu
terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu
sebagai makhluk, manusia, dan benda 2 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi
Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara hidup, sehingga mereka hidup dan
tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa ‘kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan yang ada
dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat.
Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatankekuatan
itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.
Uraian tersebut akan lebih jelas jika kita ambil contoh perbandingannya dengan
hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan
seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya
padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi
pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup
tanaman padi dan lain sebagainya. Meskipun pertumbuhan tanaman pada dapat
diperbaiki, tetapi ia tidak dapat mengganti kodratiradatnya padi. Misalnya ia
tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung.
Selain itu, ia juga tidak dapat memelihara tanaman padi tersebut seperti hanya
cara memelihara tanaman kedelai atau tanaman lainnya. Memang benar, ia dapat
memperbaiki keadaan padi yang ditanam, bahkan ia dapat juga menghasilkan
tanaman padi itu lebih besar daripada tanaman yang tidak dipelihara, tetapi
mengganti kodrat padi itu tetap mustahil. Demikianlah Pendidikan itu, walaupun
hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya bagi hidup tumbuhnya anak-anak
sangatlah besar. 3. Perlukah Tuntunan Pendidikan itu? Meskpun Pendidikan itu
hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, tetapi perlu juga
Pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya setiap anak.
Andaikata anak tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut perlu mendapatkan
tuntunan agar semakin baik budi pekertinya. Anak yang dasar jiwanya tidak baik
dan juga tidak mendapat tuntunan Pendidikan, tentu akan mudah menjadi orang
jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih memerlukan tuntunan. Tidak saja
dengan tuntunan itu ia akan mendapatkan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas,
akan tetapi dengan adanya tuntunan itu ia dapat terlepas dari segala macam
pengaruh jahat. Tidak sedikit anak-anak yang baik dasarnya, tetapi karena
pengaruh-pengaruh keadaan yang buruk, kemudian menjadi orang- 3 | Sub-Module 1:
Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara orang jahat.
Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan itu ialah pengaruh yang muncul dari beragam
jenis keadaan anak. Anak yang satu mungkin hidup dalam keluarga yang serba
kekurangan, sehingga ditemui beragam jenis kesukaran yang menghambat kecerdasan
budi anak. Bisa juga dalam keluarga itu tidak ditemui kemiskinan keduniawian,
akan tetapi amat kekurangan budi luhur atau kesucian, sehingga anak-anak mudah
terkena pengaruh-pengaruh yang jahat. Menurut ilmu Pendidikan, hubungan antara
dasar dan keadaan itu terdapat adanya ‘konvergensi’. Artinya, keduanya saling
mempengaruhi, hingga garis dasar dan garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan
akhirnya menjadi satu. Mengenai perlu tidaknya tuntunan dalam kehidupan
manusia, sama artinya dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan pada
tumbuhkembangnya tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik dasarnya
jatuh pada tanah yang baik, banyak air, dan mendapatkan sinar matahari yang
cukup, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baiknya keadaan
tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik,
atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau
kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan dapat
tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik
dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh
bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lainnya
yang juga tidak baik dasarnya. 4. Dasar Jiwa Anak dan Kekuasaan Pendidikan Yang
dimaksud dengan istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan jiwa yang asli menurut
kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di luar diri. Dengan kata
lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika lahir di dunia. Mengenai dasar
jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat tiga aliran yang berhubungan dengan
soal daya Pendidikan. Pertama, yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan
seperti sehelai kertas yang belum ditulis, sehingga kaum pendidik boleh mengisi
kertas yang kosong itu menurut kehendaknya. Artinya, si pendidikk berkuasa
sepenuhnya untuk membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan. Teori ini
dinamakan teori rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoret-coret oleh si
pendidik). Namun, aliran ini merupakan aliran lama yang sekarang hampir 4 |
Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara tidak
diakui kebenarannya di kalangan kaum cendikiawan. Kedua, ialah aliran negative,
yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai sehelai kertas yang sudah
ditulisi sepenuhnya, sehingga Pendidikan dari siapapun tidak mungkin dapat
mengubah karakter anak. Pendidikan hanya dapat mengawasi dan mengamati supaya
pengaruhpengaruh yang jahat tidak mendekati diri anak. Jadi, aliran negatif
menganggap bahwa pendidikan hanya dapat menolak pengaruhpengaruh dari luar,
sedangkan budi pekerti yang tidak nampak ada di dalam jiwa anak tak akan
diwujudkan. Ketiga, ialah aliran yang terkenal dengan nama
convergentie-theorie. Teori ini mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu
diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua
tulisan-tulisan itu suram. Lebih lanjut menurut aliran ini, Pendidikan itu
berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan yang berisi
baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang
mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai menjadi tebal,
bahkan makin suram. 5. Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah Menurut
convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama,
dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan
kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat berubah menurut
pengaruh Pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni
bagian yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang
dikatakan tidak dapat berubah lagi selama hidup. Yang disebut intelligible yang
dapat berubah karena pengaruh misalnya kelemahan pikiran, kebodohan, kurang
baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir dan sebagainya. Dengan kata lain,
keadaan pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang dan kuat-lemahnya
kemauan. Bagian yang disebut ‘biologis’ yang tak dapat berubah ialah
bagian-bagian jiwa mengenai ‘perasaan’ yang berjenis-jenis di dalam jiwa manusia.
Misalnya, rasa takut, ras malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egoisme, rasa
sosial, rasa agama, rasa berani, dan sebagainya. Rasa-rasa itu tetap pada di
dalam jiwa manusia, mulai anak masih kecil hingga menjadi orang dewasa.
Seringkali anak yang penakut, sesuah mendapatkan didikan yang baik akan segera
hilang rasa takut tersebut. Sebenarnya anak itu bukan 5 | Sub-Module 1:
Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara berubah menjadi
orang yang berwatak pemberani, hanya saja rasa takutnya itu tidak nampak karena
sudah mendapatkan kecerdasan pikiran. Akibatnya, anak tersebut mulai pandai
menimbang dan memikir sesuatu sehingga dapat memperkuat kemauannya untuk tidak
takut. Hal inilah yang dapat menutup rasa takut yang asli dimiliki anak
tersebut. Karena ketakuannya itu hanya ‘tertutup’ saja oleh pikirannya, maka
anak tersebut terkadang diserang rasa takut dengan tiba-tiba. Keadaan ini
terjadi jika pikirannya sedang tak bergerak. Kalau pikirannya tak bergerak
seberat saja, maka ia seketika akan takut lagi menurt dasar biologisnya
sendiri. Demikian pula orang yang bertabiat pemalu, belas-kasihan, bengis,
murka, pemarah dan sebagainya, selama ia sempat memikirkan segala keadaannya,
maka ia dapat menahan nafsunya yang asli. Namun, jika pikirannya tidak sempat
bergerak (dalam keadaan yang tiba-tiba datangnya), tentulah tabiat-tabiatnya
yang asli itu akan muncul dengan sendiri. 6. Perlunya Menguasai Diri dalam
Pendidikan Budi Pekerti Watak bologis dan tidak dapat lenyap dari jiwa manusia
sangat banyak contohnya. Kita juga dapat melihat dalam kehidupan setiap
manusia. Misalnya, orang yang karena pendidikannya, keadaan dan pengaruh
lainnya, seharunya berbudi dermawan. Namun demikian, jika ia memang mempunyai
dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan selalu keliatan kikir, walaupun orang
tersebut tahu akan kewajibannya sebagai dermawan terhadap fakir miskin (ini
pengaruh pendidikannnya yang baik). Semasa ia tidak sempat berpikir, tentulah
tabiat kikir orang tersebut itu akan selalu kelihatan. Setidak-tidaknya kedermawanan
orang itu akan berbeda dengan orang yang memang berdasar watak dermawan.
Janganlah pendidik itu berputus asa kerana menganggap tabiattabiat yang
biologis (hidup perasaan) itu tidak dapat dilenyapkan sama sekali. Memang benar
kecerdasan intelligible (hidup angan-angan) hanya dapat menutupi tabiat-tabiat
perasaan yang tidak baik, akan tetapi harus diingat bahwa dengan menguasai diri
(zelfbeheersching) secara tetap dan kuat, ia akan dapat melenyapkan atau
mengalahkan tabiat-tabiat biologis yang tidak baik itu. Jadi, kalau kecerdasan
budi yang dimiliki orang tersebut sungguh baik, yaitu dapat mengadakan budi
pekerti yang baik dan kokoh sehingga dapat mewujudkan kepribadian
(persoonlikjkheid) dan karakter (jiwa yang berazas huhum kebatinan), 6 | Sub-Module
1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara maka ia akan
selalu dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli dan biologis
tadi. Oleh karena itu, menguasai diri (zelfbeheersching) merupakan tujuan
pendidikan dan maksud keadaban. ‘Beschaving is zelfbeheersching’ (adab itu
berarti dapat menguasai diri), demikian menurut pengajaran adat atau etika.
Kita sekarang sampai pada pembahasan ‘budi pekerti’atau ‘watak’ diartikan
sebagai bulatnya jiwa manusia. Dalam bahasa asing, disebut sebagai ‘karakter’,
yaitu jiwa yang berazaz hukum kebatinan. Orang yang mempunyai kecerdasan budi
pekerti akan senantiasa memikirkan dan merasakan serta memakai ukuran,
timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti
bersifat tetap dan pasti pada setiap manusia, sehingga kita dapat dengan mudah
membedakan orang yang satu dengan yang lainnya. Budi pekerti, watak, atau
karakter merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak
atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Perlu diketahui bahwa budi berarti
pikiranperasaan-kemauan, sedangkan pekerti artinya ‘tenaga’. Jadi budi pekerti
merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan hingga menjelma sebagai tenaga.
Dengan adanya budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia, dengan
dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dihilangkan, maupan dalam arti
neutraliseeren (menutup, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau
yang tak dapat lenyap sama sekali karena sudah Bersatu dengan jiwa. 7.
Jenis-Jenis Budi Pekerti Setelah kita mengetahui bahwa budi pekerti seseorang
itu dapat mewujudkan sifat kebatinan seseorang dengan pasti dan tetap, kita
juga harus mengetahui pula bahwa tida ada dua budi pekerti orang yang sama.
Jadi, sama keadaanya dengan roman muka manusia, tida ada dua orang yang sama.
Meskipun, orang dapat membedakan budi pekerti manusia menjadi beberapa macam
atau jenis (typen), sheingga orang dapat mempunyai ikhtisar tentang garis-garis
atau sifat-sifat watak orang secara umum. Pembagian budi pekerti menjadi
beberapa jenis tesrbut berdasarkan pada sifat angan-angan, sidat perasaaan, dan
sidat kemauan (analystis). 7 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan
Nasional: Ki Hadjar Dewantara kemudian, tiga sifat itu digabungkan menjadi satu
(synthetis); sehingga mewujudkan suatu macam atau tipe budi pekerti yang pasti.
Salah satu pembagian tipe budi pekerti yang terkenal disampaikan oleh almarhum
Prof. Dr. Heymans, guru besar Universitas Groningen, yang sudah mengadakan
penyelidikan disertai percobaan dan ditetapkan adanya 8 jenis budi pekerti
orang. Ada pula yang membagi budi pekerti menjadi beberapa jenis berdasarkan
hasrat seseorang. jadi, bukan pembagian analytis, akan tetapi pembagian secara
globa dan etis (etis = menurut rasa adab). Adapun Prof. Spranger membagi budi
pekerti menjadi 6 jenis, yakni bersandar pada Hasrat orang pada: 1. Kekuasaan
(machtsmensch), 2. Agama (religious mench), 3. Keindahan (kunstmensch), 4.
Kegunaan atau faedah (nutsmensch atau econimisch mensch), 5. Pengetahuan atau
kenyataan (wetenschaps) dan 6. Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale
mensch). Selain dua macam pembagian tersebutm terdapat pula teori-teori tenta g
jenis-jenis budi pekerti yang lain. Misalnya, menghubungkan sifat jasmani
seseorang dengan watak orang tersebut (Prof. Kretschner), seperti ilmu firasat
dari Imam Syafi’i. kemudian, terdapat pula pendapat yang mengukur budipekerti
orang dengan melihat cara seseorang memandang dirinya sendiri sebagai pusat
pemandangan, atau sebaliknya, sebagai sebagain saja dari alam yan gbsar ini
(Adler, Kunkel). Ada pula yang mengadakan pembagian introversen dan exroversen
(Jung), yaitu orang yang selalu memandang ke dalam batinya sendiri, atau yang
memandag ke arah luat, dan demikianlah seterusnya. Dalam soal watak atau budi
pekerti manusia, jangan dilupakan bahwa tiap-tiap manusia mendapat pengaruh
dari yang menurunkan (eferlijkheidsleer). Jadi , sama pula dengan menurunya
sifat-sifat jasmani dari tiap-tiap orang (sifatnya roman muka, rambutnya, warna
kulitnya, pendektingginya badan, dan lain-lain). Jangan dilupan juga bawh
sperti yang sudah diuraikan sebelumnya, pendidikan dan segala pengalaman
tersebut berpengaruh besar pada tumbuhnya budi pekerti. 8. Naluri Pendidikan
Setelah ikhtisar arti, maksud, dan tujuan Pendidikan dijelaskan pada uraian
sebelumnya, sekarang akan dijelaskan bagian-bagian khusu: untuk permulaan
mengenai syarat-syarat dan alat-alat dalam Pendidikan yang teratur. Disebut
‘yang teratur’, sebab Pendidikan itu sebenarnya berlaku di tiap-tiap keluarga
dengan cara yang tidak teratur. Berlakunya Pendidikan 8 | Sub-Module 1:
Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara ddari tiap-tiap
orang terhadap anak-anak terbawa oleh adanya paedagogis instinct, yakni
keinginan dan dan kecakapan tiap-tiap manusia untuk mendidik anak-anaknya agar
selamat dan Bahagia. Naluri atau instinct disebabkan pula oleh adanya naluri
yang pokok (oerinstinct), yang bertujuan agar terwujudnya keberlangsungan
keturunan (ngudhi-tuwuh), behoud van de sort). Pendidikan yang dilakukan oleh
setiap orang terhadap anak-anaknya, pada umumnya hanya berdasarkan pada
cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan seringkali dipengaruhi oleh perasaan yang
berganti-ganti dari si pendidik. Dengan kata lain, tidak dengan ‘keinsyafan’
dan tidak tetap. Jika terdapat keinsyafan, maka keinsyafan itu hanya berdasar
atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’ belaka, yakni tida berdasarkan pengetahuan.
Andaikata ada dasar pengetahuan yang berasal dari ‘pengalaman’, sehingga hal
ini berarti kurang luar (eenzijdig).
Komentar
Posting Komentar